Posted in catatan seorang jurnalis, njul cerita-cerita..

(jurnalis) menikah dengan seorang jurnalis..

Sejak kecil, tidak pernah sekalipun terlintas di benak saya untuk menjadi seorang jurnalis. Paling, cuma kagum sama Desi Anwar kalau lagi nonton Seputar Indonesia pada jaman itu. Ih keren yaaa.. Tapi ya udah, gitu doang. Yah, pas jaman SD mah, layaknya anak-anak SD pada masanya, ya selalu ganti-ganti jawabannya ketika ditanya, “Kalau besar mau jadi apa?”. Hari ini jawabnya mau jadi profesor, besoknya jadi dokter, lusanya jadi insinyur, minggu depannya jadi presiden (persis kayak lagunya Susan & Ria Enes), ganti-ganti deh pokoknya. Galau menentukan arah hidup, hahaha.

Ketika menginjak bangku SMP, saya sok-sokan lah ikut ekskul majalah sekolah, yang namanya Info-5 (yang seringnya dibaca siswa hanya bagian Pe*Tai-pesan berantai- dan isinya kebanyakan salam manis buat kecengan atau sekedar numpang eksis doang) karena bisa bareng-bareng sama sobat-sobat dari jaman SD. Dari situ, saya mulai ngerasa, ih seru juga yaa, bisa buat artikel ngumpulin materi, wawancara temen yang berprestasi, terus ditulis. Jarang bangetlah ambil materi dari internet. Waktu itu internet udah ada sih tapi ga kaya sekarang. Dulu aksesnya cuma dari warnet. Wong henpon aja paling cuma anak-anak berada yang punya, itu pun belom berteknologi smartphone. Paling cuma dipake main Snake. wkwkwk.

Masuk SMA, satu-satunya kegiatan saya yang masih berbau jurnalistik ala-ala, hanyalah karena saya kebagian ngerjain buletin DKM SMA, namanya Tifosi. Nggak banyak pengalaman jurnalistik yang bisa ditarik dari situ, karena yang saya inget, kerjanya cuma ngetik dikit, ketawa-ketawanya yang banyak. Superbly fun friendship and amazing teamwork. Saya jadi suka senyum-senyum sendiri inget masa-masa jahiliyah itu. Katanya anak DKM, tapi kalo lagi rapat ujungnya curhat – eaa. Haha, masa-masa galau menentukan hidup lagi kan. Cuma sedihnya, salah satu dari kami tidak berumur panjang. Meli, pergi menghadap Allah, bahkan sebelum kami lulus. Hiks. 😥

Saat kuliah, saya bahkan nggak ikut dan nggak berminat kegiatan apapun yang berkaitan dengan jurnalistik. Sama sekali. Jadi yaa ketika saya lulus tahun 2010, wisuda, dan 2 minggu kemudian langsung jadi reporter di RCTI, that’s what we called DESTINY.

Dua tahun jadi jurnalis, saya lalui dengan belajar dari nol besar. Awal-awal karir (ciyee macem betul ajee, karir) saya sering dimarahin karena nulis naskah berita ga becus, 5W1H nya ga lengkap, ceritanya nggak runtut, atau terlalu panjang. Semua saya telan dan saya jadikan pelajaran berharga. Lalu sampailah saya pada masa dimana saya ditugaskan untuk jadi wartawan politik, yang meliput di DPR. Awalnya, saya nggak kepikiran untuk punya pacar sesama jurnalis. Meskipun ngeceng mah ada lah yaa, haha. Wartawan juga banyak lho yang lucu-lucu, mayan bikin mata seger jadi semangat liputan.

Ada 3 profesi yang harus kamu pertimbangkan untuk dijadikan calon suami. Pertama, polisi, kedua, tentara, ketiga, wartawan. Karena tiga-tiganya sama-sama sering dinas keluar kota, punya potensi besar punya bini di banyak kota.
Bang Ferry Insan, cameraman, 2011

Kalimat itu selalu nancep di kepala. Eh, pucuk di cinta, ulam tiba. Tau-tau salah satu dari sekian banyak wartawan DPR itu tiba-tiba ada yang nekat, ngajak saya nonton. 😂

image
Wartawan yang nekat ngajak saya nonton (foto : Andri Nurdriansyah, 2013)

Waktu berjalan begitu cepat, tiba-tiba 4 bulan kemudian, dia lebih nekat lagi. Ngajak saya nikah! Kaget sih, tapi saya pikir, ya udahlah, mumpung ada yang mau daripada ngga laku-laku, padahal umur udah mau seperempat abad. Daripada baper kan ya, sementara undangan-undangan nikahan temen udah pada ngantri aja ampir tiap minggu. Bismillah aja deh. 😂

image
Sah! (foto : pribadi, 19 Oktober 2013)

Ternyata, menikah dengan sesama jurnalis itu alhamdulillah, punya banyak sekali privilege (disamping liabilities) bahkan sejak dari saat kita merencanakan perkawinan.

1) Foto prewed difotoin wartawan foto
Yang motoin fotografer Parlemen, Mas Andri Nurdriansyah. Harga bersahabat, hasil hebat. 😁
Orang mah sibuk nyediain waktu dan dandan khusus buat prewed, ini DISAMBI liputan, masih pake seragam. Makasih banyak, Mas Andri 🙂

image
Salah satu foto prewed yang dijadikan undangan foto (foto : Andri Nurdriansyah, 2013)

2) Teman-teman wartawan merangkap Pagar ayu, pagar bagus, MC, band kawinan
Yak, pernikahan kami banyak sekali berutang budi sama temen-temen sesama jurnalis. Dengan bantuan mereka, nikahan kami jadi mirip-mirip slogan koran Pikiran Rakyat. Dari wartawan, oleh wartawan, dan untuk wartawan.
Mulai dari MC, Andyani Purnama, alias Ade, temen sekosan saya, (dulunya) reporter MNCTV, mau menyumbangkan keahliannya bercuap-cuap dan bikin kawinan kami nggak boring. 😁
Band kawinan, artisnya Mbak Ken dan Teh Ratna, sesama wartawan Istana, beserta personil band temen-temennya yang wartawan semua. Fotografer candid pas nikahan juga dibantu Mas Agus, cameraman yang juga suka fotografi.
Belum lagi belasan wartawan temen-temen di DPR, dan Istana, yang mau saya repotin jadi pager ayu dan pager bagus merangkap wedding organizer dan LO tamu VIP.
Meskipun mereka bukan wedding organizer profesional, tapi alhamdulillah nikahan kami lancar karena bantuan mereka. Saya nggak bisa bayangin, kalau nggak ada mereka yang membantu mengenali, mengatur dan menemani banyaknya tamu VIP yang hadir. Makasih banyak buat Mas Agus, Mbak Indri, Cak Slem, Mas Tegar, Mas Iqbal, Bayu Tan, Risty, Fyra, Desa, Mbak Nukie, dan semuanya. Semoga Allah yang membalas kebaikan kalian. 🙂

3) Berbagi info A1 tentang berita terkini
Berbagi info di kalangan wartawan mungkin adalah hal biasa. Tapi karena kami punya ‘jaringan’ yang berbeda, tak jarang kami pun bisa bertukar ‘cerita’. Sering malah ‘ngegosip’nya sebelum bobok, melengkapi potongan-potongan puzzle suatu kasus yang lagi hot versi si A, si B, si C, dan seterusnya. Our kind of pillow talk. Enaknya, jadi selalu punya referensi baru untuk mengembangkan angle (sudut pandang) liputan. Seperti kata seorang jurnalis politik senior saya dulu.

“Sumber informasi untuk beritamu bisa dari mana saja. Narasumber, saksi mata, polisi, jaksa, pengacara, dll. Tapi jangan lupa, informan yang paling dekat. Sesama wartawan.”

Gimana nggak kurang dekat. Wartawannya selalu bobok satu kasur. Wkwkwk.

4) Jadi orang pertama bertanya kontak narasumber
Ketika saya butuh wawancara narasumber tertentu untuk melengkapi liputan, tapi nggak tahu nomor henponnya, orang pertama yang saya tanya, ya si Mas.

5) Liputan = Honeymoon gratis!
Ini bener-bener kejadian tanpa rekayasa. Rejeki emang ngga kemana. Kongres PAN di Bali, Maret 2015, selama 3 hari 2 malam kami bisa satu kamar hotel, meskipun pulang dan pergi ke Bali secara terpisah. Saya bareng sama cameraman, si Mas sama rombongannya.

6) Ditinggal liputan keluar kota mendadak (atau sebaliknya)
Resiko menikah dengan seorang jurnalis adalah harus siap ditinggal dinas mendadak liputan keluar kota. Itu berlaku buat saya, dan si Mas tentunya. Gak jarang saya harus siap kalau misalnya tiba-tiba si Mas bilang, “Bun, Ayah mau ke Jepang Rabu besok..” Kemudian saya pun iri. Zzzz.
Begitupun sebaliknya, kalau saya yang ditugaskan keluar kota.

7) Dokumentasi keluarga lengkap standar broadcast
Enaknya punya pasangan jurnalis adalah paling tidak mereka punya kemampuan dasar fotografi dalam mengabadikan setiap momen. Terlebih untuk merekam momen-momen istimewa perkembangan Kynan, atau sekedar merekam video tingkah polahnya. Minim foto gagal, dan videonya lengkap dan enak dilihat. Heu.

8) Punya banyak informan yang ‘jagain’ suami (atau sebaliknya)
Dunia media itu sangat sempit. Kita sering berteman dengan banyak jurnalis yang sama karena pernah satu pos liputan atau pernah ketemu di lapangan. Jadi, kemanapun dan sampai jam berapapun si Mas pergi liputan, pasti akan ada ‘mata-mata’ yang siap ‘melaporkan’ tingkah polahnya pada saya, atau sebaliknya. Wkwkwk 😁

Itu mungkin baru sebagian suka-duka menjadi pasangan jurnalis. Yang pasti, punya pasangan jurnalis itu tidak seperti mereka yang punya pasangan kerja kantoran. Kami harus bisa saling memahami tuntutan profesi, yang tak jarang harus rela liputan sampai tengah malam, menuntaskan rundown program berita malam sampai dini hari, atau bahkan baru berangkat kerja dan memulai hari saat yang lain sudah terlelap untuk membuat rundown program berita pagi. Begitulah.

Salah satu produser senior saya bahkan pernah sampai dikira tetangganya kerja di tempat hiburan malam, karena bertahun-tahun punya siklus nokturnal, membidani program berita yang tayang jam 5 pagi. Nasib.

Semua kami lakukan demi menyajikan informasi teraktual untuk Anda. 😁

Author:

a proud wife. a happy mom. a journalist. an eager learner. mahmud abas : mamah muda anak baru satu. pujaan hati Tri Mujoko Bayuaji. former genetician. intellectually scientist, emotionally journalist. BI ITB'06. a runner and (still) a Sennheiser-junkie. any inquiry? don't hesitate to contact me at nuzulyasafitri@gmail.com.

5 thoughts on “(jurnalis) menikah dengan seorang jurnalis..

  1. Subhanallah.. keren.. mkasi ya mbak nuzulya sudah menjadi bagian juga di PONPES (PONDOK ONLINE PESANTREN SILAT)

  2. ‘Dokumentasi keluarga standar broadcast’ hahahahahahha. Iya ya, karena kerja di TV, jadi paham urusan visual. Kalo liat ada dokumentasi foto yang blur atau video yang goyang ala doorstop suka gatel pengen komentar 😂😂😂

    1. hahahahaha iya kann, untung dokumentasi keluarga bisa diulang ya kalo blur, coba doorstop Jokowi ya kalo wayang atau gempa bumi, disunat sama korlip 😂😂😂

  3. Njuuuull.. PEMA dan TIFOSI banggeddd hahaha.. tp bener mgkn PEMA sam TIFOSI yang bikin aku juga seneng nulis da njul, hoho.. Tapi emg udah jodoh ketemu sama Mas Bayu mah ya Njul, sejalan jadinya..
    Duluu monik tu pny cita2 kerja di Majalah Bobo atau sekelas Femina, entah jadi pengisi rubrik atau editor. Kalau skrg masih kesampean gak ya mo gawe di situ haha *apa kabar farmasi?*

Leave a reply to iyoskusuma Cancel reply